EUR/USD 1.088   |   USD/JPY 155.870   |   GBP/USD 1.271   |   AUD/USD 0.670   |   Gold 2,439.35/oz   |   Silver 32.03/oz   |   Wall Street 40,003.59   |   Nasdaq 16,685.97   |   IDX 7,317.24   |   Bitcoin 66,278.37   |   Ethereum 3,071.84   |   Litecoin 82.22   |   AUD/JPY bergerak di bawah 104.50 setelah Tiongkok memutuskan untuk mempertahankan suku bunga, 10 menit lalu, #Forex Teknikal   |   USD/CHF berada di Sekitar 0.9100 dengan sentimen positif, 11 menit lalu, #Forex Teknikal   |   GBP/USD dapat terkoreksi lebih rendah jika gagal menembus level 1.2700, 12 menit lalu, #Forex Teknikal   |   Potensi bullish EUR/USD masih ada menjelang pidato The Fed, 13 menit lalu, #Forex Fundamental   |   PT Surya Biru Murni Acetylene Tbk (SBMA) akan membagikan dividen tunai sebesar Rp1.1 miliar dari capaian laba bersih tahun buku 2023, 5 jam lalu, #Saham Indonesia   |   PT Sumber Global Energy Tbk (SGER) bakal membagikan dividen kepada pemegang sahamnya senilai Rp129.38 miliar, 5 jam lalu, #Saham Indonesia   |   PT Chandra Asri Pacific Tbk. (TPIA) akan membagikan tambahan dividen tunai sebesar Rp482.43 miliar dengan cum date jatuh pada hari ini, 5 jam lalu, #Saham Indonesia   |   S&P 500 naik 0.1% menjadi 5,334, sementara Nasdaq 100 naik 0.1% menjadi 18,661 pada pukul 19:23 ET (23:23 GMT). Dow Jones naik 0.1% menjadi 40,179, 6 jam lalu, #Saham AS

HSBC: Lupakan Perang Mata Uang, Sekarang Saatnya Perang Deflasi

Penulis

Dalam catatannya, HSBC juga menyebutkan bahwa masa moneter sekarang ini layaknya perang mata uang. Daripada menghilangkan kecenderungan deflasi, bank-bank sentral lebih memilih menggelontorkan stimulus moneter untuk mengekspor deflasi ke negara lain di dunia.

Meskipun semua likuiditas ditumpahkan demi sistem keuangan pelongggaran kuantitatif, inflasi masih saja rendah dan mengkhawatirkan dan hal tersebut kemungkinan bank-bank sentral yang masih berupaya untuk mengekspor deflasi, demikian yang diungkapkan oleh HSBC.

perang_mata_uang
Dalam catatannya, HSBC juga menyebutkan bahwa masa moneter sekarang ini layaknya perang mata uang. Daripada menghilangkan kecenderungan deflasi, bank-bank sentral lebih memilih menggelontorkan stimulus moneter untuk mengekspor deflasi ke negara lain di dunia. Anjloknya nilai tukar yang cukup besar menjadi sebuah gejala awal diadakannya pelonggaran kuantitatif dari bank-bank sentral global, yang secara temporer meningkatkan inflasi bagi negara-negara "penyelenggara".

Namun, tak dapat dihindari bahwa dalam setiap penurunan sebuah nilai mata uang, pasti ada kenaikan di nilai mata uang lain. Dan bagi mata uang lain yang terkena dampak kenaikan nilai mata uang, pada akhirnya mengalami inflasi yang lebih rendah daripada yang diprediksikan atau bahkan jauh lebih rendah dari yang diharapkan seperti yang terjadi pada zona Euro dalam seester kedua tahun ini.

Kecuali Jepang, semua wilayah baru-baru ini telah mengalami kemerosotan yang tak terduga dalam inflasi. Hal tersebut mungkin dikarenakan oleh suku bunga yang diefektifkan di kisaran nol, sehingga stimulus moneter lebih mendorong harga-harga aet tanpa memacu pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Rendahnya inflasi menghadirkan bahaya yang cukup serius bagi pemulihan ekonomi.

"Dalam siklus ekonomi standar, aktivitas mengarah kepada inflasi." demikian pernyataan HSBC. "Dalam sebuah lingkungan pasca bubble, dimana utang sangat tinggi dan deleveraging (penurunan pemberian utang) menyebar luas, hal yang berlaku sebaliknya adalah inflasi yang rendah akhirnya meningkatkan level-level utang sehingga menyulitkan deleveraging dan biasanya akan menekan permintaan dan aktivitas.

Jepang, lagi-lagi, adalah sebuah contoh nyata negara yang sempat mencatatkan pemulihan pada pertengengahan tahun 90-an namun akhirnya harus kembali tergelincir akibat adanya kombinasi deflasi yang terus merangkak serta kebijakan pengetatan yang terlalu dini.

149624
Penulis

SFN merupakan hasil kerjasama beberapa personel tim Seputarforex untuk mengulas berita-berita terkini di bidang forex maupun saham.