"Inflasi menyebabkan harga-harga barang naik. Tampaknya akan ada hiperinflasi uang kertas yang terjadi akibat manipulasi emas dan perak yang dilakukan kaum kapitalis agaknya dapat dibenarkan. Hal ini, tak lain karena saat ini, emas yang nilainya setara dengan alat tukar, hanya dijadikan sebagai mata dagangan semata, bukan sebagai alat tukar itu sendiri."
Sedangkan fiat money, yang hanya berupa kertas, tidak memiliki nilai intrinsik, dan amat rawan terhadap trend inflasi dijadikan alat tukar resmi yang dikeluarkan pemerintah. Jauh berbeda dengan dinar emas dan dirham perak yang memiliki nilai intrinsik dan terbebas dari kondisi inflasi, bahkan dalam semua mata uang kertas kurs dinar emas dan dirham perak, dari tahun ke tahun terus meningkat. Kenaikan nilai dinar dan dirham tersebut berimplikasi pada turunnya biaya-biaya dan harga dari barang dan jasa, bahkan dalam dinar dan dirham, harga tersebut akan stabil.
Sebagai contoh pada harga semen (di Jakarta). Pada tahun 2000 nilai tukar 1 Dinar emas adalah sekitar Rp400.000, harga satu zak semen sekitar Rp20.000/zak, maka 1 Dinar emas dapat dibelikan 20 zak semen. Pada tahun 2011 (Januari) harga satu zak semen yang sama menjadi sekitar Rp 50.000/zak, sedangkan nilai tukar Dinar emas adalah Rp1.690.000. Maka satu Dinar emas pada awal 2011 dapat dibelikan 32 zak semen. Dengan kata lain harga semen/zak dalam kurun 2000-2010 dalam rupiah mengalami kenaikan sebesar 150%, tetapi dalam Dinar emas justru mengalami penurunan sebesar (-) 40%. Contoh lain yang penting bagi umat Islam Indonesia bila Dinar dan Dirham digunakan adalah pada Biaya Pelaksanaan Ibadah Haji (BPIH), yang terus menerus naik dalam rupiah, sedangkan dalam dinar turun.
Sejak dinar emas kembali dicetak dan diedarkan di Indonesia (2000) penurunan BPIH dalam Dinar emas terjadi rata-rata sekitar 15-20% per tahun. Ketika terjadi "krismon", saat BPIH melonjak drastis dalam rupiah, dalam Dinar emas justru mengalami penurunan, dari 97 dinar (1998) menjadi 68 dinar (2000). Dan sejak saat itu (1998-2004) BPIH dalam dinar terus cenderung mengalami penurunan secara berarti. Untuk tahun 2002 dan 2003, berturut-turut, BPIH adalah senilai 64 dinar dan 56 dinar, atau turun 12.5%. Untuk tahun 2004, dengan kurs dinar emas sekitar Rp500ribu rupiah/dinar, BPIH cukup dibayar dengan harga cuma 46 dinar emas, turun lagi 17.8%.
Jadi, dibandingkan dengan harga sebelum krismon, harga BPIH 2004 dalam rupiah mengalami kenaikan 2,5 kali lipat, dalam dinar turun 1,5 kali lipat. Tingkat penurunannya sekitar 10 dinar atau 15-20% per tahunnya. Untuk tahun 2005, walaupun nilai BPIH dalam dinar tidak berubah, tetap 46 dinar, tapi dalam rupiah tetap mengalami kenaikan karena persoalan kurs. Dalam tahun 2006 turun lagi menjadi 34 dinar, terus turun lagi menjadi 31 dinar (2007), dan turun lagi menjadi 26-27 dinar untuk 2008. Pada tahun 2009, lagi-lagi, ongkos naik haji bila diukur dalam Dinar, kembali turun, cukup dibayar hanya dengan 24 Dinar.
Tingkat penurunannya berturut-turut adalah 26%, 8%, dan 12%. Perbedaan biaya dalam rentang empat tahun, antara 2005 dan 2008, menunjukkan penurunan BPIH dalam dinar sebesar 41% (dari 46 dinar/2005 ke 27 dinar/2008)! Sementara dalam rupiah justru naik 36% (dari Rp 23.2 juta ke Rp31.6 juta), dan dalam dolar AS naik 25% (dari 2.730 dolar AS ke 3.430 dolar AS).
Hiperinflasi terjadi akibat adanya manipulasi emas dan perak sebagaimana dikatakan penulis. Dalam hal ini kita dapat membuktikan dengan ada dan berkembangnya mindset kebanyakan masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia yang cenderung lebih apresiatif untuk menyimpan emas batangan, jual-beli emas, ataupun gadai emas.
Padahal, akan sangat lebih bermanfaat bagi masyarakat apabila mulai menggunakan dinar emas dan dirham perak sebagai alat jual beli. Jika ini terjadi, maka dinar emas dan dirham perak akan beredar secara luas di masyarakat. Dan ini justru akan menstabilkan ekonomi, menurunkan harga-harga, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.