EUR/USD 1.067   |   USD/JPY 154.540   |   GBP/USD 1.245   |   AUD/USD 0.642   |   Gold 2,388.63/oz   |   Silver 28.68/oz   |   Wall Street 37,841.35   |   Nasdaq 15,601.50   |   IDX 7,087.32   |   Bitcoin 63,512.75   |   Ethereum 3,066.03   |   Litecoin 80.80   |   XAU/USD bullish efek masih berlanjutnya tensi konflik Israel-Iran, 14 jam lalu, #Emas Fundamental   |   Pasar bergerak dalam mode risk-off di tengah berita utama mengenai serangan Israel ke Iran, 14 jam lalu, #Forex Fundamental   |   Poundsterling menemukan area support, meskipun sentimen risk-off membuat bias penurunan tetap terjaga, 15 jam lalu, #Forex Fundamental   |   GBP/JPY bertahan di bawah level 192.00 setelah data penjualan ritel Inggris, 15 jam lalu, #Forex Teknikal   |   PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (PJAA) mencatat jumlah pengunjung saat libur lebaran 2024 ini mencapai 432,700 orang, 21 jam lalu, #Saham Indonesia   |   S&P 500 turun 0.2% menjadi 5,039, sementara Nasdaq 100 turun 0.4% menjadi 17,484 pada pukul 20:09 ET (00:09 GMT). Dow Jones turun 0.2% menjadi 37,950, 21 jam lalu, #Saham AS   |   Netflix turun hampir 5% dalam perdagangan aftermarket setelah prospek pendapatannya pada kuartal kedua meleset dari estimasi, 21 jam lalu, #Saham AS   |   Apple menghapus WhatsApp dan Threads milik Meta Platforms (NASDAQ:META) dari App Store di Cina pada hari Jumat setelah diperintahkan oleh pemerintah Cina, 21 jam lalu, #Saham AS

GDP Inggris Direvisi, Pound Makin Bearish

Penulis

Pertumbuhan ekonomi Inggris mengalami penurunan lebih dalam ketimbang laporan GDP sebelumnya. Hal ini kian menekan Pound di tengah negosiasi dagang pasca-brexit.

Seputarforex - Pound selip sekitar 0.3 persen versus Dolar AS ke kisaran 1.2260-an pada awal perdagangan sesi Eropa hari ini (30/Juni). Badan statistik Inggris merevisi data Gross Domestic Product (GDP) untuk kuartal pertama menjadi semakin negatif, sementara pelaku pasar masih mencemaskan dampak pandemi COVID-19 dan perundingan dagang pasca-brexit.

GBPUSD DailyGrafik GBP/USD Daily via Tradingview.com

Jalan yang harus ditempuh menuju pemulihan ekonomi Inggris tampaknya makin terjal. Office for National Statistics (ONS) melaporkan bahwa GDP Inggris pada kuartal I/2020 mengalami kemerosotan 2.2 persen (Quarter-over-Quarter), bukan sekedar 2 persen sebagaimana dilaporkan sebelumnya. Hal ini mengisyaratkan pertumbuhan ekonomi tahunan sudah ambruk 1.7 persen.

Revisi laporan GDP kali ini juga menunjukkan bahwa belanja rumah tangga tumbang 2.9 persen, atau dua kali lipat lebih parah dibanding penurunan 1.2 persen yang dilaporkan sebelumnya. Sektor jasa, konstruksi, dan produksi pun serempak menampilkan penurunan output gegara lockdown yang diberlakukan demi membendung pandemi COVID-19.

"Penurunan 2.2% q/q pada GDP kuartal I/2020 adalah kejatuhan gabungan paling besar sejak 1979 dan menyiapkan panggung untuk penurunan bersejarah pada kuartal kedua," ungkap Thomas Pugh dari Capital Economics, "Survei sebelumnya menunjukkan bahwa output pulih lebih cepat dibanding ekspektasi kami pada Mei dan Juni, sehingga risiko bagi forecast GDP kuartal kedua kami sebesar -23.0% cenderung ke sisi atas. Tapi perekonomian masih membutuhkan waktu hingga 2022 untuk meraih kembali tingkat prakrisis."

Pemerintah Inggris menjanjikan tambahan anggaran untuk menopang perekonomian di tengah situasi ini. PM Boris Johnson mengatakan kepada Times Radio kemarin, "Inilah waktunya untuk pendekatan ala Roosevelt bagi Inggris Raya." Pendekatan ala Roosevelt itu merujuk pada program "New Deal" yang diluncurkan oleh Presiden AS Franklin D Roosevelt untuk membantu pemulihan ekonomi dari Depresi Besar, termasuk diantaranya penciptaan proyek infrastruktur publik.

Pelaku pasar mempertanyakan dari mana pemerintah Inggris akan mendapatkan sumber dana untuk tambahan anggaran tersebut, sedangkan tingkat utang publik telah meroket sejak awal pandemi. Selain itu, ada pula keraguan terkait prospek tercapainya kesepakatan dagang pasca-brexit antara Uni Eropa dan Inggris sesuai deadline 31 Desember 2020.

Jane Foley dari Rabobank berpendapat, "Di samping ketidakpastian politik Inggris, lockdown COVID-19 dalam waktu lama dan ketergantungannya pada sektor jasa yang terdampak paling parah telah menimbulkan biaya ekonomi signifikan. Awal bulan ini, OECD memperkirakan Inggris akan menderita resesi terburuk di antara negara-negara maju tahun ini. BoE telah membuka wacana suku bunga negatif. Walaupun hal ini tak mungkin menjadi respons kebijakan dalam waktu dekat, peluangnya meningkat jika kesepakatan dagang tidak dicapai dengan UE dan harapan pemulihan ekonomi makin kandas."

Download Seputarforex App

293157
Penulis

Alumnus Fakultas Ekonomi, mengenal dunia trading sejak tahun 2011. Seorang News-junkie yang menyukai analisa fundamental untuk trading forex dan investasi saham. Kini menulis topik seputar Currency, Stocks, Commodity, dan Personal Finance dalam bentuk berita maupun artikel sembari trading di sela jam kerja.