Banyak orang awam membayangkan betapa indahnya jika harga barang di pasaran menurun, bukannya meningkat. Padahal, penurunan harga barang dan jasa secara terus menerus akan melahirkan situasi deflasi yang buruk bagi masa depan negeri.
Situasi deflasi di suatu negara tidak bisa berhenti dengan sendirinya. Deflasi malah akan menimbulkan efek spiral bila tidak segera diatasi. Oleh karenanya, pemerintah dan otoritas keuangan harus berusaha mengambil tindakan untuk menggenjot naik harga-harga barang dan jasa secepat mungkin, setelah data ekonomi menunjukkan gejala timbulnya deflasi. Bagaimana cara mengatasi deflasi? Kita akan bahas selengkapnya dalam artikel ini.
Efek Spiral Deflasi
Efek spiral deflasi bisa terjadi karena merosotnya harga-harga akan menyebabkan turunnya produksi dan aktivitas bisnis secara umum. Padahal, penurunan produksi dan aktivitas bisnis tersebut pasti akan mengakibatkan perlambatan kenaikan upah, atau bahkan berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal. Orang-orang yang mengalami penurunan pendapatan, akan semakin enggan membelanjakan uangnya. Pada akhirnya, tingkat permintaan agregat akan merosot secara nasional, sehingga penurunan aktivitas bisnis akan semakin memburuk.
>>>Baca juga: Dampak Deflasi Terhadap Perekonomian dan Mata Uang
Depresi besar di AS (The Great Depression) pada tahun 1930-an adalah contoh klasik dari efek spiral yang disebabkan oleh keadaan deflasi. Karena belum ada contoh dalam mengatasi keadaan seperti itu, pemerintah AS mengambil tindakan yang ternyata tidak efektif.
Pada waktu itu, presiden AS Franklin D Roosevelt yakin bahwa deflasi yang terjadi disebabkan oleh kelebihan penawaran (supply) barang dan jasa di pasar, sehingga ia berusaha untuk menguranginya dengan cara membeli ladang-ladang pertanian dan perkebunan agar produk-produknya tidak membanjiri pasar. Tetapi ternyata solusi ini malah membuat perekonomian bertambah buruk dan efek spiral deflasi tetap berlangsung.
Cara Mengatasi Deflasi ala Bank Sentral Dunia
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, negara-negara yang mengalami deflasi akhirnya menemukan bahwa bank sentral mempunyai peran yang sangat penting dalam mengatasi keadaan deflasi. Cara mengatasi deflasi tersebut adalah dengan mencetak uang dan membanjiri pasar dengan likuiditas, atau meningkatkan jumlah uang beredar.
Teknisnya, bank sentral mencetak uang, kemudian membeli surat-surat berharga (obligasi atau sekuritas lain) melalui skema Quantitative Easing (QE). Dana yang digelontorkan itu akan masuk ke dalam sistem keuangan, dan dapat disalurkan oleh bank-bank kepada masyarakat dalam bentuk skema pinjaman (kredit). Dengan cara ini, perekonomian diharapkan kembali bergairah karena perusahaan dan individu akan lebih mudah dalam mendapatkan dana pinjaman.
Beberapa bank sentral yang sempat mengambil langkah ini antara lain Federal Reserve, Bank of Japan (BoJ), Bank of England (BoE)dan European Central Bank (ECB). Agar lebih efektif, tindakan QE juga dibarengi dengan penurunan suku bunga hingga tingkat yang paling rendah atau bahkan diberlakukannya suku bunga negatif. Dengan tingkat suku bunga pinjaman yang sangat rendah, bank sentral berharap bisa merangsang aktivitas perekonomian tanpa intervensi langsung yang bisa jadi bumerang.
Meski demikian, cara mengatasi deflasi dengan Quantitative Easing ini dapat membawa risiko sampingan lain apabila berlangsung secara berkepanjangan. Bayangkan jika suku bunga negatif dan perbankan memiliki likuiditas melimpah, apa yang akan terjadi selanjutnya?
Bank-bank akan malas meminjamkan dana ke masyarakat karena bunganya rendah. Perbankan malah kemungkinan memilih untuk meningkatkan investasi di luar negeri yang dapat mendatangkan pendapatan lebih tinggi. Hasilnya, QE salah sasaran. Inilah sebabnya, mengapa kebijakan QE selalu mengundang kontroversi dan membutuhkan kehati-hatian ekstra dari pihak bank sentral.