EUR/USD 1.087   |   USD/JPY 155.630   |   GBP/USD 1.270   |   AUD/USD 0.669   |   Gold 2,414.02/oz   |   Silver 31.70/oz   |   Wall Street 40,003.59   |   Nasdaq 16,685.97   |   IDX 7,317.24   |   Bitcoin 66,940.80   |   Ethereum 3,122.95   |   Litecoin 83.87   |   Para buyer GBP/USD jika area support 1.2630 berhasil bertahan, 2 hari, #Forex Teknikal   |   EUR/USD mode koreksi setelah kenaikan, 2 hari, #Forex Teknikal   |   EUR/JPY melanjutkan kenaikan, rintangan berikutnya terlihat di area 169.40, 2 hari, #Forex Teknikal   |   EUR/USD turun mendekati level 1.0850, area support lebih lanjut pada EMA-9, 2 hari, #Forex Teknikal   |   PT Industri Jamu Dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO) telah memutuskan untuk membagikan dividen final sebesar sebesar Rp540 miliar, 2 hari, #Saham Indonesia   |   PT Adaro Energy Indonesia Tbk. (ADRO) menyampaikan jadwal pembagian dividen tahun buku 2023 sebesar Rp6.45 triliun dengan cum date tanggal 27 Mei 2024, 2 hari, #Saham Indonesia   |   PT Lautan Luas Tbk. (LTLS) akan membagikan dividen tahun buku 2023 sebesar Rp35 per saham pada 13 Juni 2024, 2 hari, #Saham Indonesia   |   S&P 500 stabil pada 5,320, sementara Nasdaq 100 mendatar di 18,653 pada pukul 19:36 ET (23:36 GMT). Dow Jones datar di 40,017, 2 hari, #Saham AS

Harga Minyak Loyo Digelayuti Sentimen Negatif Brexit

Penulis

Harga minyak mentah berjangka melorot pada sesi perdagangan Asia hingga Brent kembali melantai ke bawah harga $50 per barel. Para investor disinyalir mengabaikan sinyal-sinyal pengetatan pasar dan memilih berfokus pada sentimen penghindaran risiko.

Harga minyak mentah berjangka melorot pada sesi perdagangan Asia hingga Brent kembali melantai ke bawah harga $50 per barel, atau tepatnya $49.91 saat berita ini diangkat (14/6), sedangkan WTI mengambang di $48.39 per barel. Para investor disinyalir mengabaikan sinyal-sinyal pengetatan pasar dan memilih berfokus pada sentimen penghindaran risiko yang berkembang di pasar finansial sehubungan dengan isu perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dan referendum Brexit.

ilustrasi

Referendum Brexit, merujuk pada pemungutan suara yang akan memutuskan apakah Inggris akan tetap menjadi anggota Uni Eropa atau hengkang, akan digelar tanggal 23 Juni mendatang. Seiring dengan mendekatnya hari-H, persaingan antara kubu penolak dan pendukung Uni Eropa di Inggris makin ketat.

Laporan terbaru dari polling yang digelar pekan lalu pada pagi tadi menunjukkan pihak yang ingin hengkang dari UE masih memimpin. Menurut ICM, 53% responden ingin keluar, 47% ingin tinggal. Senada dengan itu, YouGov mengabarkan 46% akan memilih pergi, 39% memilih tinggal. Padahal beragam dampak negatif diperkirakan akan menimpa Inggris dan meluber ke wilayah lainnya jika negeri yang beribukota di London itu memutuskan untuk keluar dari kesatuan sosial politik Uni Eropa.

Sebagai efek samping dari kecemasan pasar tersebut, aset-aset safe haven menguat, termasuk Dolar, Yen, dan Emas. Di sisi lain, aset berisiko lebih tinggi mulai dilepas oleh investor.

Mihir Kapadia, CEO Sun Global Investments, mengatakan pada Reuters, "Suasana penghindaran risiko yang telah menjalar di pasar dalam beberapa hari terakhir ini telah menguasai harga minyak, dimana lemahnya pasar Asia dan kuatnya Dolar berkontribusi (menyebabkan) harga minyak Brent menurun kembali ke bawah $50 per barel."

Menurutnya, ada beberapa pihak yang mensinyalir pemulihan harga minyak baru-baru ini adalah karena masalah gangguan supply temporer dan tidak ada kaitannya dengan penguatan permintaan akibat ekonomi dunia sehat. Padahal, jika Inggris sungguh keuar dari Uni Eropa maka berpotensi mendorong benua tersebut kembali masuk dalam resesi, sehingga menempatkan lebih banyak tekanan pada perekonomian global.

Sentimen penghindaran risiko tersebut berimbas negatif bagi minyak yang permintaannya cenderung menurun jika pertumbuhan ekonomi dunia terganggu. Akibatnya harga minyak cenderung menurun meski sebuah proyeksi resmi yang dirilis OPEC pada hari Senin mengekspektasikan pemulihan stabilitas pasar di paruh kedua tahun ini. Pelaku pasar juga mengabaikan forecast pemerintah AS yang menyebutkan kalau output minyak shale bakal melandai lagi pada Juli untuk ketujuh bulan berturut-turut. Bisa jadi itu ada hubungannya dengan laporan kembali beroperasinya sejumlah sumur minyak shale nonaktif di AS, dengan mana produksi pun diproyeksikan meningkat.

 

266561
Penulis

Alumnus Fakultas Ekonomi, mengenal dunia trading sejak tahun 2011. Seorang News-junkie yang menyukai analisa fundamental untuk trading forex dan investasi saham. Kini menulis topik seputar Currency, Stocks, Commodity, dan Personal Finance dalam bentuk berita maupun artikel sembari trading di sela jam kerja.