Harga acuan minyak AS, WTI, menembus ambang $40 per barel untuk pertama kalinya tahun ini pada hari Kamis kemarin (17/3). Selama sekitar sebulan terakhir, komoditas minyak telah mengalami rebound hingga 53% dari level terendahnya, namun para analis dan investor khawatir reli melaju "tanpa kaki".
Setelah menyentuh level rendah 13-tahun pada harga $26.21 per barel tanggal 11 Februari lalu, harga minyak AS berbalik arah. Minyak mentah terutama disokong oleh ekspektasi bahwa harga yang kelewat rendah akan memaksa para produsen untuk membatasi output dan limpahan pasokan cepat atau lambat akan surut. Lebih dari itu, pelemahan Dolar AS di tengah memudarnya ekspektasi akan kenaikan suku bunga AS tahun ini pasca pernyataan FOMC lalu juga turut mendukung rebound.
Timbulkan Paradoks
Kontrak minyak mentah AS untuk pengiriman April naik 4.5% ke $40.20 per barel pada hari Kamis di NYMEX, harga tertingginya sejak Desember 2015. Sementara harga acuan minyak internasional, Brent, melanjutkan kenaikan hari sebelumnya hingga menjejaki level $41.50 per barel.
Kenaikan yang tajam tersebut meresahkan sejumlah analis dan investor yang diwawancarai oleh Wall Street Journal. Mereka menilai harga digerakkan oleh ekspektasi akan terjadinya perbaikan, bukan karena ada perubahan fundamental pada supply dan demand di pasar minyak itu sendiri. Oleh sebab itu, pasar menjadi rentan akan pembalikan harga yang sama kuatnya dengan reli baru-baru ini.
Pemulihan harga pun dipandang menimbulkan paradoks, karena harga yang lebih tinggi bisa mendorong produsen untuk meningkatkan output, dan dengan demikian malah berpotensi memperparah oversupply.
Mirip Tahun Lalu
Sejumlah analis dan investor tersebut menandai kemiripan reli saat ini dengan arus bullish di pasar setahun yang lalu, dimana harga melejit lebih dari 30 persen dalam periode Januari-Mei, tetapi kemudian tergelincir jatuh ke level rendah baru.
"Saya kira reli ini menyesatkan," ujar John Brynjolfsson dari James Alpha Global Enhanced Real Return fund yang masih terus mempertahankan posisi bearish mereka sepanjang reli, "Saya tidak berpikir jumlah minyak yang ada saat ini bisa mendukung harga minyak."
Fakta bahwa oversupply masih terjadi tak bisa dielakkan. Persediaan minyak AS dilaporkan naik lagi pekan lalu dan ruang di fasilitas penyimpanan utama di Cushing, Oklahoma, pun kian menipis. Sementara itu di Timur Tengah, Iran terus menggenjot produksinya tanpa kenal lelah. Pada bulan Februari, Arab Saudi juga diberitakan memproduksi dan mengekspor minyak dalam jumlah lebih besar dibanding bulan sebelumnya. Dalam situasi ini, diperkirakan surplus minyak global bisa mencapai 1-2 juta barel per hari.
Namun demikian, pasar nampaknya masih ditopang oleh harapan akan tercapainya kesepakatan diantara negara-negara produsen minyak terdepan. Sebelumnya telah diberitakan bahwa negara-negara OPEC dan Non-OPEC akan berunding di Qatar pada 17 April mendatang untuk mendiskusikan pembatasan output, bahkan ada rumor yang menyebut kesepakatan bisa tercapai meski Iran menentang.